![]() |
| Foto: Ketua Bidang PTKP Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Jakarta Raya, Muh. Ubaidillah Daga, di Jakarta. |
PIKIRAN JAKARTA - Wacana pemilihan kepala daerah melalui mekanisme voting DPRD kembali mencuri perhatian publik setelah Partai Golkar secara terbuka mengusulkan skema tersebut dalam peringatan HUT ke-61 mereka, sehingga memantik perdebatan luas yang mempertemukan berbagai pandangan politik, akademik, hingga organisasi kepemudaan di tingkat nasional.
Usulan pilkada tidak langsung sebelumnya pernah disinggung Presiden Prabowo Subianto, namun kembali menguat setelah Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, menyampaikan gagasan serupa yang dinilai dapat menghemat anggaran negara serta memperkuat efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah tanpa beban biaya kompetisi politik yang semakin mahal.
Ketua Bidang PTKP Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Jakarta Raya, Muh. Ubaidillah Daga, menilai gagasan pilkada melalui DPRD secara prinsip merupakan ide yang bisa dipertimbangkan dari aspek efisiensi dan pengawasan, namun tetap menyimpan banyak catatan penting yang harus dibahas secara serius agar tidak memunculkan persoalan baru dalam sistem demokrasi yang telah berjalan selama ini.
Ubay menyoroti pola kepartaian Indonesia yang dinilai masih sangat sentralistik, karena keputusan elite DPP kerap menjadi penentu final bagi struktur partai di daerah, sehingga potensi dominasi partai besar dalam penentuan kepala daerah sangat mungkin terjadi dan dapat membuat kompetisi politik menjadi tidak seimbang.
Ia menegaskan bahwa apabila usulan ini benar-benar menemukan kesepakatan politik, maka syarat utamanya adalah memperkuat regulasi partai politik, termasuk audit keuangan yang lebih transparan, pembenahan rekrutmen kader, serta peningkatan kualitas pendidikan politik internal yang selama ini dinilai masih jauh dari ideal dan tidak sesuai kebutuhan demokrasi modern.
Ubay juga menyinggung bahwa sistem pilkada langsung pun masih menyisakan banyak masalah, mulai dari maraknya praktik money politics, konflik horizontal, hingga munculnya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, namun menurutnya pemerintah belum menunjukkan langkah serius untuk memperbaiki kerusakan tersebut sebelum mengajukan opsi perubahan sistem.
Dalam percakapannya melalui pesan singkat pada 10 Desember 2025, Ubay menyebut masyarakat tentu memiliki kekhawatiran karena kehilangan ruang untuk menentukan kepala daerah secara langsung serta potensi hilangnya “serangan fajar” yang selama ini menjadi fenomena umum menjelang pemilu meski secara etis tidak dibenarkan.
Ia menegaskan bahwa pemerintah harus siap menghadapi opini keras mengenai potensi kemunduran demokrasi, berkurangnya kedaulatan rakyat, hingga kekhawatiran publik akan kembalinya praktik politik ala era Orde Baru, sehingga perubahan apa pun harus dibuktikan dengan perbaikan nyata dan bukan sekadar argumentasi normatif.
Ubay menekankan pentingnya menelaah ketentuan konstitusi terutama Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang menyebut kepala daerah dipilih secara demokratis, karena frasa tersebut sering ditafsirkan fleksibel, sementara Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusannya menegaskan bahwa makna pemilihan demokratis merujuk pada pemilihan langsung oleh rakyat secara luber dan jurdil.
Meski MK memiliki penafsiran demikian, Ubay menyebut interpretasi tersebut masih berada dalam ruang negative legislator yang bisa berubah menjadi positif melalui kebijakan hukum terbuka apabila pemerintah dan DPR menyepakati perubahan undang-undang terkait sistem pemilihan kepala daerah di tingkat nasional.
Ubay memastikan bahwa HMI Jakarta Raya akan terus mengikuti perkembangan wacana tersebut karena sinyal politik dari pemerintah dan DPR terlihat semakin terbuka, sehingga seluruh proses perlu dikawal agar setiap perubahan tetap sejalan dengan prinsip demokrasi, kepentingan publik, dan masa depan tata kelola daerah yang lebih akuntabel.
