![]() |
| Gambar ilustrasi warga |
PIKIRAN JAKARTA – Tidak ada buldoser yang datang. Tidak ada surat peringatan penggusuran paksa. Namun, ribuan warga asli Jakarta diam-diam "tergusur" dari tanah kelahiran mereka sendiri. Ini adalah penggusuran ekonomi, sebuah proses senyap dan brutal bernama: gentrifikasi.
Di kantong-kantong permukiman padat seperti Tebet, Manggarai, hingga Kebayoran Lama, fenomena ini terasa nyata. Pembangunan apartemen mewah, co-working space kekinian, dan kafe-kafe mahal telah mengubah wajah kampung.
Hasilnya? Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) meroket. Biaya sewa kontrakan merangkak naik gila-gilaan. Bahkan harga sepiring nasi uduk di warung sebelah pun ikut terkerek.
Bagi warga lama—yang telah tinggal turun-temurun—mereka dihadapkan pada dua pilihan pahit: bertahan hidup dengan tercekik biaya, atau menjual tanah warisan mereka dan pindah ke pinggiran kota seperti Depok, Bekasi, atau Tangerang.
Mimpi Buruk Bernama NJOP
"Dulu bapak saya bisa hidup dari warung kelontong. Sekarang, kanan-kiri saya kafe mahal. Pelanggan lama saya sudah pindah," keluh Ibu Maimunah (58), warga asli Tebet yang kini sedang mempertimbangkan menjual rumah peninggalan orang tuanya.
Kisah Maimunah adalah cerminan dari ribuan warga lainnya. Proses gentrifikasi di Jakarta seringkali dipicu oleh pembangunan infrastruktur baru (seperti stasiun MRT/LRT) atau kawasan komersial raksasa.
"Ketika satu superblok mewah dibangun, NJOP tanah di sekitarnya langsung 'terbakar'. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) warga kampung bisa naik tiga sampai lima kali lipat dalam beberapa tahun," jelas Rian Adiputra, seorang pengamat tata kota.
"Bagaimana mungkin seorang pensiunan atau pedagang kecil bisa membayar PBB puluhan juta rupiah setahun? Mereka secara sistematis dipaksa untuk angkat kaki," tegasnya.
Program Perumahan yang Gagal Melindungi
Di sinilah letak ironi terbesarnya. Di tengah gempuran pasar properti yang liar, program penyediaan rumah terjangkau dari pemerintah seakan tak berdaya.
Program ambisius seperti DP 0 Rupiah atau pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) terbukti gagal menjadi "tameng" bagi warga rentan.
"Rusunawa itu bagus, tapi lokasinya seringkali jauh dari tempat kerja atau sekolah anak. Belum lagi daftar tunggunya yang bisa bertahun-tahun," ungkap Rian.
Sementara program DP 0 Rupiah, lanjutnya, dari segi jumlah unit tidak sebanding dengan kebutuhan. "Itu ibarat setetes air di tengah gurun. Tidak mampu membendung kekuatan modal besar yang mengubah kampung menjadi kawasan elit."
Jakarta kini berada di persimpangan kritis. Kota ini sukses membangun gedung-gedung pencakar langit yang megah, namun di saat yang sama gagal melindungi "jiwa"-nya—warga asli yang telah membentuk karakter kota ini selama puluhan tahun.
Tanpa intervensi kebijakan yang radikal dan pro-rakyat kecil, Jakarta akan segera menjadi kota yang steril: megah, modern, namun hanya bisa dihuni oleh mereka yang berdompet tebal.
