![]() |
| Foto Ilustrasi Kemacetan |
PIKIRAN JAKARTA – Klakson bersahutan di Sudirman, antrean kendaraan mengular di Gatot Subroto. Pemandangan yang familiar ini adalah konfirmasi pahit: kemacetan era pra-pandemi telah kembali sepenuhnya ke Jakarta. Namun, ada paradoks yang menusuk di tengah semua ini.
Di atas jalanan yang macet itu, melaju mulus gerbong-gerbong MRT dan LRT—proyek mercusuar yang dibangun dengan utang jumbo dan kini dioperasikan dengan "membakar" triliunan rupiah uang APBD setiap tahunnya.
Pertanyaannya kini menjadi semakin mendesak: Untuk apa subsidi transportasi publik yang begitu besar jika gagal menarik orang keluar dari mobil pribadi mereka?
Beban Ganda: Utang dan Subsidi
Pembangunan infrastruktur transportasi modern di Jakarta tidaklah murah. Proyek MRT, misalnya, didanai dari utang luar negeri (pinjaman JICA) yang akan menjadi beban anggaran negara dan daerah selama puluhan tahun ke depan. Ini adalah "jebakan utang" (debt trap) yang sudah terlihat di depan mata.
Namun, beban itu tidak berhenti saat proyek selesai. Untuk menjaga harga tiket tetap terjangkau—jauh di bawah biaya keekonomiannya—Pemprov DKJ harus menyuntikkan dana Public Service Obligation (PSO) atau subsidi yang nilainya fantastis.
Tahun ini saja, alokasi subsidi untuk TransJakarta, MRT, dan LRT Jakarta diperkirakan mencapai lebih dari Rp 4 triliun.
"Ini adalah pilihan kebijakan yang sangat mahal," kata Farhan Sulaeman, seorang analis kebijakan publik. "Triliunan rupiah uang pajak rakyat digelontorkan setiap tahun. Kita berhak bertanya, apakah kita mendapatkan hasil yang sepadan?"
Kemacetan yang Tak Kunjung Usai
Hasil sepadan yang diharapkan tentu saja adalah perpindahan besar-besaran dari kendaraan pribadi ke transportasi umum. Namun, data berbicara sebaliknya.
Tingkat kemacetan Jakarta telah kembali ke level di atas 50% menurut berbagai indeks lalu lintas, menandakan bahwa keberadaan MRT dan LRT belum secara signifikan mengubah perilaku komuter.
"Masalahnya ada pada konektivitas," jelas Farhan. "MRT dan LRT kita masih berupa 'pulau-pulau' mewah. Sangat nyaman jika Anda berada di dalam gerbong, tapi sangat sulit untuk mencapainya."
Menurutnya, kegagalan integrasi first-mile dan last-mile (akses dari rumah ke stasiun dan dari stasiun ke kantor) adalah biang keroknya. Orang masih merasa lebih praktis membawa mobil atau motor dari rumah karena angkutan pengumpan (feeder) tidak memadai, trotoar tidak nyaman, atau biaya ojek online ke stasiun terlalu mahal.
Bom Waktu Fiskal
Seiring dengan status Jakarta yang tak lagi menjadi Ibu Kota, tekanan pada APBD akan semakin berat. Jakarta dituntut mandiri secara fiskal, namun di saat yang sama harus menanggung beban utang proyek dan subsidi yang terus membengkak seiring penambahan rute baru.
"Ini adalah bom waktu fiskal," tegas Farhan. "APBD Jakarta bisa tergerus hanya untuk membiayai operasional transportasi, mengorbankan alokasi vital lainnya seperti penanganan banjir, pendidikan, atau kesehatan."
Di tengah kemacetan yang kembali merajalela, Jakarta kini dihadapkan pada pilihan sulit: terus "membakar uang" untuk subsidi yang efektivitasnya dipertanyakan, atau melakukan reformasi drastis pada model transportasi massalnya sebelum jebakan utang dan subsidi ini menenggelamkan anggaran kota.
