![]() |
| Foto ilustrasi kota Jakarta |
PIKIRAN JAKARTA– Status Ibu Kota Negara (IKN) telah resmi beralih ke Nusantara. Namun, di balik transisi itu, pertarungan baru yang jauh lebih sengit tengah dimulai di Jakarta: perebutan kendali atas masa depan ekonomi kota.
Dengan disahkannya Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ), pertanyaan terbesarnya kini bukanlah "siapa gubernurnya," melainkan "siapa yang sesungguhnya akan memegang kendali" atas kue ekonomi Jakarta yang nilainya puluhan ribu triliun rupiah.
Jakarta tidak lagi hanya sebuah provinsi, ia didesain menjadi "Kota Global" dan pusat ekonomi nasional. Inilah yang menjadi rebutan.
Taruhan Bernilai Ribuan Triliun
Fokus utama perebutan kuasa ini adalah aset. Pindahnya kementerian dan lembaga negara ke IKN meninggalkan aset jumbo berupa tanah dan gedung perkantoran di kawasan-kawasan premium seperti Segitiga Emas (Sudirman, Kuningan, Thamrin).
"Ini bukan sekadar gedung kosong. Ini adalah instrumen ekonomi," ujar Bima Setiawan, seorang analis kebijakan perkotaan, saat dihubungi (9/11). "Siapa yang berwenang mengelola, menyewakan, atau mendisposisi aset-aset ini, dialah yang akan menentukan arah bisnis Jakarta ke depan."
Di sinilah letak ketegangan. Apakah kewenangan itu akan jatuh penuh ke tangan Pemerintah Provinsi DKJ, atau akan ada "otoritas bayangan" yang dikendalikan oleh pemerintah pusat?
Tiga Kutub Kepentingan
Setidaknya ada tiga pemain utama dalam pertarungan senyap ini:
Pemerintah Pusat: Melalui UU DKJ, Pusat masih ingin memegang kendali strategis. Salah satu instrumennya adalah pembentukan Dewan Aglomerasi, yang berpotensi memiliki kewenangan super dalam menyinkronkan pembangunan Jakarta dengan kota-kota penyangga (Bodetabek). Ada kekhawatiran ini menjadi cara Pusat untuk "tetap menyetir" Jakarta tanpa harus melalui proses politik daerah.
Pemerintah Provinsi DKJ: Di sisi lain, Gubernur DKJ—siapapun yang terpilih—jelas menginginkan otonomi penuh. Untuk menjalankan visi "Kota Global", Pemprov butuh otoritas fiskal dan kewenangan tata ruang yang mutlak. Mereka tidak ingin menjadi sekadar "manajer pelaksana" dari desain yang ditentukan oleh Pusat.
Sektor Swasta (Bisnis): Para pelaku bisnis dan investor raksasa adalah pemain ketiga. Mereka tidak terlalu peduli siapa yang berkuasa, asalkan ada kepastian hukum. Mereka menginginkan Jakarta dikelola seperti korporasi: efisien, cepat dalam perizinan, dan prediktabel. "Bagi kami, yang penting Jakarta dikelola secara profesional, mirip CEO," ungkap seorang pengusaha properti yang enggan disebut namanya.
Arah Jakarta: Kota Bisnis atau Arena Politik?
Nasib Jakarta kini berada di ujung tanduk regulasi turunan UU DKJ. Jika kendali ekonomi lebih banyak ditarik ke Pusat, Jakarta berisiko menjadi "provinsi setengah otonom" yang geraknya lamban.
Namun, jika diserahkan penuh ke Gubernur yang dipilih secara politik, kekhawatiran akan munculnya kebijakan populis yang tidak ramah bisnis juga menghantui investor.
"Pertarungan ini akan menentukan apakah Jakarta akan menjelma menjadi New York atau Singapura-nya Asia Tenggara, atau tetap menjadi arena politik yang rumit," tutup Bima.
Rakyat Jakarta kini hanya bisa menunggu, berharap siapa pun yang memegang kendali ekonomi nanti, dampaknya akan nyata pada perbaikan transportasi publik, kualitas udara, dan penyediaan perumahan terjangkau, bukan sekadar rebutan kuasa di menara gading.
Editor: Robby Anggara
