Ad
Scroll untuk melanjutkan membaca
Ad

Antonio Gramsci: Api Kecil di Tengah Gelap Dunia


Oleh : Eghy Seftiawan (Orang Pinggiran) 

PIKIRAN JAKARTA - Ada manusia-manusia yang hidupnya seperti nyala lampu petromaks di malam panjang kolonialisme pikiran: kecil, rapuh, namun cahayanya menolak padam. Antonio Gramsci adalah satu di antaranya.manusia kecil dari tanah Sardinia, anak rakyat jelata yang tubuhnya ringkih namun pikirannya tajam seperti ujung belati yang diasah dari penderitaan.

Ia lahir bukan dari rahim istana, bukan pula dari rumah besar yang dindingnya berhias lukisan-lukisan para leluhur. Ia lahir dari debu jalanan Sardinia, di mana anak-anak belajar lebih dulu lapar sebelum mengenal huruf. Tetapi dari kesunyian dan penderitaan itulah ia mengolah pikirannya menjadi senjata.

Ia lahir di dunia yang tidak memberi kemewahan apa pun. Tubuhnya kecil, punggungnya bengkok, dan nasibnya seperti kebanyakan rakyat miskin di Italia kala itu: terjepit di antara kerasnya hidup dan dinginnya kekuasaan. Tapi barangkali, justru dari tubuh yang rapuh itulah muncul kekuatan yang tak dapat dipatahkan oleh besi mana pun—kekuatan berpikir. Karena bagi Gramsci, tubuh boleh lemah, tapi pikiran yang merdeka bisa menjebol tembok-tembok penjara paling tebal

Gramsci tidak memilih senjata dari besi, melainkan dari kata-kata. Ia tahu, peluru hanya dapat membunuh tubuh; tetapi gagasan—sekali menembus kepala manusia—akan hidup seribu tahun lamanya. Dalam penjara, ketika tubuhnya terkurung dan tulangnya melemah, ia justru melahirkan pemikiran yang lebih berani daripada kebanyakan manusia yang hidup bebas di luar sana. Di balik jeruji itulah ia menulis Prison Notebooks, semacam kitab kecil bagi mereka yang percaya bahwa perubahan bukanlah hasil dari kekerasan, tetapi dari kesadaran yang tumbuh diam-diam di kepala manusia biasa.

Ia berbicara tentang hegemoni, tentang bagaimana kekuasaan menundukkan manusia bukan dengan rantai, melainkan dengan kepercayaan palsu yang ditanamkan dari sejak kanak-kanak. Dan dengan kalimat yang sederhana, ia mengajarkan: bila kekuasaan bisa membentuk pikiran, maka rakyat pun bisa membentuk pikirannya sendiri—dan dari situlah kebebasan lahir.

Gramsci mengajarkan kita untuk percaya pada “intelektual organik”—bahwa siapa pun yang berpikir dan berjuang untuk rakyatnya, entah ia petani, buruh, atau guru kampung, sesungguhnya adalah pemikir sejati. Ia menolak menara gading ilmu; baginya, pengetahuan yang tak berpihak hanyalah kesombongan yang tak berguna bagi dunia.

Bila manusia adalah makhluk yang bermartabat karena pikirannya, maka Gramsci adalah salah satu bukti terbaik dari martabat itu. Ia tidak meninggalkan gedung megah atau kekayaan, tetapi meninggalkan cara berpikir yang membuat kita—bahkan puluhan tahun setelah kematiannya—masih bertanya pada diri sendiri: untuk siapa seharusnya pengetahuan itu bekerja?

Mungkin, bila Pram hidup sezaman dengannya, mereka akan berbincang panjang di sebuah ruang sempit, di antara rokok yang separuh terbakar dan secangkir kopi hitam. Mereka akan bicara tentang manusia kecil, tentang bangsa, tentang keadilan, dan tentang keyakinan bahwa setiap pikiran, sekecil apa pun, bisa menjadi peluru bagi kemerdekaan.

Antonio Gramsci tidak meninggalkan istana, tidak mewariskan harta, tidak meninggalkan keturunan yang berkuasa. Tapi ia meninggalkan sesuatu yang lebih berharga dari semuanya: keberanian untuk berpikir. Dan keberanian untuk tetap berpikir bahkan ketika dunia berusaha membungkamnya. Ia mengajarkan kita bahwa menjadi manusia berarti berani menolak kebodohan, berani menolak tunduk pada ketidakadilan, berani mempertahankan martabat di tengah kehancuran

Maka, jika dunia hari ini terasa semakin gelap oleh kebohongan dan kemunafikan, kita hanya perlu mengingat nama Antonio Gramsci. Ia adalah bukti bahwa satu api kecil di kepala manusia bisa menyalakan cahaya bagi seluruh umat. Ia adalah bukti bahwa penjara paling kejam pun tidak dapat membungkam pikiran yang merdeka. Dan dari semua warisan yang bisa diberikan seorang manusia kepada dunia, tidak ada yang lebih agung daripada itu: pikiran yang menolak untuk mati.



Baca Juga
Berita Terbaru
  • Antonio Gramsci: Api Kecil di Tengah Gelap Dunia
  • Antonio Gramsci: Api Kecil di Tengah Gelap Dunia
  • Antonio Gramsci: Api Kecil di Tengah Gelap Dunia
  • Antonio Gramsci: Api Kecil di Tengah Gelap Dunia
  • Antonio Gramsci: Api Kecil di Tengah Gelap Dunia
  • Antonio Gramsci: Api Kecil di Tengah Gelap Dunia
Posting Komentar